Sunday, April 12, 2015

Jokowarino.com Tempat Berbagi Informasi

Setidaknya dlm forum pertemuan para pejabat senior APEC 2013 di Surabaya 7-19 April tahun lalu, sudah mencanangkan beberapa isu prioritas yang mencakup antara lain: pertanian.

pertanian indo, 1. Pembangunan serta investasi infrastruktur




2. Program pemberdayaan perempuan dalam perekonomian pertanian indonesia.

3. Peningkatan daya saing UKM (Usaha Kecil serta Menengah)

4. Perluasan akses kesehatan

5. Promosi kerja sama pendidikan lintas negara

6. Rencana kerangka konektivitas di Asia Pasifik yang akan memberikan kemudahan bagi warga Indonesia serta masyarakat Asia Pasifik utk berpergian serta melangsungkan perdagangan.

Pertanian Indonesia

Dari enam agenda yg secara eksplisit telah disampaikan oleh Yuri O Thamrin, Ketua Sidang Pejabat Senior APEC 2013 yg jg menjabat Direktur Jenderal Asia-Pasifik & Afrika, Kementerian Luar Negeri, kiranya sudah cukup jelas secara konseptual.

Namun dari penilaian Global Future Institute, terkesan agenda-agenda strategis itu tdk ditempatkan dalam kerangka strategi kebijakan luar negeri & sudut pandang geopolitik untuk memberdayakan posisi tawar Indonesia dlm menghadapi kepentingan-kepentingan strategis korporasi-korporasi global asing, terutama Amerika dan Uni Eropa.

Sehingga dikhawatirkan Indonesia justru akan masuk dlm perangkap skema serta strategi kebijakan kapitalisme global di Washington serta Uni Eropa yang tergabung dlm G-7.

Maka sebagai latarbelakang serta pemetaan masalah sebelum kita sampai pada perumusan agenda-agenda strategisnya, ada baiknya para pemangku kepentingan yg terlibat dalam perumusan kebijakan strategis pada KTT APEC mendatang untuk mendalami terlebih dahulu kondisi obyektif yang berkembag di tanah air ketika ini.

Mari kami simak kondisi obyektif di sektor pertanian, sekadar sebagai contoh.

Rapuhnya Kedaulatan Sektor Pertanian dan Pangan Indonesia

Pertama, saat ini Indonesia yg merupakan negara agraris & menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan dan bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan serta tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tidak perlu terjadi di Indonesia.

Sebagai negara yang mempunyai dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja ngga mempunyai pesaing. Artinya bahwa potensi Indonesia sungguh besar, yatu mempunyai kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yg tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi serta model demografi untuk menghasilkan produk yang bervariasi jg terbuka luas.

Kedua, dengan merujuk pada pendapat Sabiq Carebesth, Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan Jurnal Sosial Agraria Agricola, dlm sebuah sistem, kegiatan kerja bertani ngga lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yg berhak memproduksi, mengedarkan, & siapa yang masuk dalam perencanaan sebagai sasaran pemakai sekaligus disebut korban. Pengedarnya merupakan pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.

Keuntungan itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan tersebut lalu terkonsentrasi cuma di tangan segelintir para pebisnis yg menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan & pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang setelah itu jadi korban? Yg jadi korban merupakan para Petani kecil yg pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah & kecil.

Merekalah target dari eksploitasi sistematis pemiskinan yg akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yg paling parah ialah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.

Maka, monopoli gak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang sudah lama mengincar pasar benih serta pangan di Indonesia.

Kartel Pangan

Sementara itu, masih menurut Sabiq Carebesth, kartel internasional & nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, & pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, & bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, & gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya mesti berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Ngga pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sudah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan & pangan.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga mempunyai kecenderungan oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global jg terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yg menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dlm industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dgn penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), & Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren contohnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, serta bawang merah dari Filipina.

Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum serta terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Sementara info yg disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengulas produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut serta Lembang jg sudah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, serta Del Monte. Sedangkan produksi & distribusi kacang-kacangan, jagung, serta serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, & Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.

Bidang saprotan, jg tdk lepas dari dominasi perusahaan asing dgn beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, & Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa jg terjadi di bidang pembenihan dgn kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung & kedelai, dan beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.

Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi & hilangnya kedaulatan petani dlm mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akn jadi isapan jempol belaka. Ngga pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan serta manufaktur impor.

Amerika Serikat Tekan Indonesia Agar Cabut Pembatasan Impor Holtikultura

Masih soal holtikultura, satu lagi kenyataan obyektif yang kiranya Kementerian Luar Negeri & Kementerian Perekonomian perlu mencermati secara seksama. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia akhirnya mengalah menyikapi laporan Pemerintah Amerika Serikat ke Tubuh Perdagangan Dunia (WTO), atas peraturan impor hortikultura dgn mengerjakan pelarangan & pembatasan buah dan sayuran. Karenanya, Pemerintah akn melakukan revisi Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).

Hal ini terkait dgn langkah Indonesia memberlakukan Permentan No. 60 tahun 20012 tentang pembatasan impor Holtikultura (sayur & buah), sehingga AS) gencar memprotes aturan tersebut. Bahkan Indonesia diadukan ke WTO. Setelah mengerjakan pertemuan antara perwakilan AS serta Indonesia di Jenewa beberapa waktu lalu akhirnya pemerintah indonesia berencana merevisi aturan tersebut.

Pemerintah mengeluarkan aturan Permentan 60 Tahun 2012 serta Permendang Nomor 60 Tahun 2012 terkait pengaturan importasi 20 komoditas hortikultura.

Aturan tersebut dikeluarkan karna dianggap produksi dalam negeri masih mencukupi sehingga pemerintah melarang 13 komoditas hortikultura masuk ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu, diantaranya durian, nanas, melon, pisag, mangga, pepaya, kentang, kubis, wortel, cabe, krisan, anggrek serta heliconia.

Sementara 7 komoditas hotrikultura yang dibatasi jml impornya di antaranya Bawang yg diterdiri dari bawang bombay, bawang merah serta bawang putih, kemudian Jeruk yg terdiri dari jeruk siam, jeruk mandarin, lemon, serta grapefruit atau pamelo, anggur, apel dan lengkeng.

Dari 300 Komoditas cuma 90 sampai 92 komoditas yg diperdagangkan. Dari jumlah itu 20 komoditas yg diatur dlm Permentan nomor 60 Tahun 2012. Dari 20 komoditas itu 7 komoditas hortikultura yang dibatasi jml kuota impornya.

Dari gambaran itu di atas, pemerintah Indonesia telah seharusnya menyadari adanya sisi rawan dari kedaulatan kita di sektor pertanian dan sektor pangan, akibat kuatnya pengaruh & tekanan korporasi-korporasi asing dalam pembuatan kebijakan strategis di sektor pertanian serta pangan.

Dan yang yg mengecewakan kami dari Global Future Institute, pemberdayaan sektor pertanian dan pangan sama sekali gak dimasukkan sebagai salah satu isu prioritas sebagaimana disampaikan oleh Yuli O Thamrin pada Sidang Pertemuan Pejabat Senior APEC di Surabaya April lalu.

Padahal, berdasarkan data kementerian Pertanian menunjukan perkembangan impor buah dan sayur mengalami perkembangan yg sangat drastis. Pada tahun 2008, nilai impor produk hortikultura mencapai 881,6 juta dollar AS, tapi pada 2011 nilai impor produk hortikultura sudah mencapai 1.7 miliar dollar AS (dengan kurs Rp. 9.500, sekitar Rp 16,15 triliun).

Komoditas hortikultura yang di impornya paling tinggi adalah bawang putih senilai 242,4 juta dollar AS (sekitar Rp. 2,3 triliun), buah apel sebanyak 153,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,46 triliun), jeruk 150,3 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,43 triliun) serta anggur sebanyak 99,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 943 miliar).

Karena itu kami kiranya cukup beralasan dengan membanjirnya produk holtikultura impor. Seakan produk holtikultura tak mampu bersaing, padahal kami sangat mampu bersaing di tingkat internasional.

Padahal pada kenyataannya, Komoditas hortikultura lokal selama ini sudah memberikan pendapatan yang besar bagi negara, Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura tahun 2005 sebesar Rp 61.729 miliar meningkat menjadi Rp 88.334 miliar pada tahun 2010. Dengan PDB terbesar di sumbang dari komoditas buah, disusul sayuran, hias & tanaman obat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Maka penyebabnya merupakan besarnya pengaruh skema kapitalisme global lewat beberapa korporasi asing, sehingga holtikultra produk import dpt merajalela di Indonesia.

Pada tataran ini, Indonesia dlm KTT APEC 2013 hrs punya kontra skema utk mematahkan monopoli kartel-kartel asing tersebut. Sehingga agenda-agenda strategis Indonesia pada KTT APEC 2013 mendatang benar-benar membumi.

Kontra Skema Indonesia dalam KTT APEC 2013 harus didasari gagasan untuk melakukan proteksi terhadap kelompok-kelompok ekonomi menengah & kecil. Pada tingkatan ini, merumuskan perlunya peningkatan daya saing UKM dimasukkan dlm salah satu isu prioritas kiranya sudah berada di jalan yang tepat. Cuma saja blm tergambar secara jelas strategi pemerintah Indonesia dlm menjabarkan isu tersebut pada KTT APEC 2013 mendatang.

Dalam hal kedaulatan atau kemandirian pangan, misalnya, hrs didasari utk melindungi kepentingan para petani. Program kemandirian pangan berarti jg harus diikuti dengan diberlakukannya kebijakan melarang pemberlakuan bebas bea masuk pangan impor. Sehingga skema kedaulatan ekonomi serta khususnya pangan, akn mampu membendung gempuran produk-produk impor dari luar negeri terhadap produk dlm negeri.

Dalam hal memberlakukan kebijakan proteksi terhadap pertanian dlm negeri, ada baiknya mencontoh Cina serta Rusia. Bagaimana kedua negara itu ketika memberlakukan kebijakan pertanian pro rakyat dalam bidang unggas misalnya, pakan pun diproteksi, bahkan diberikan secara gratis, utk melindungi para petaninya.

Dengan mengambil inspirasi dari Cina maupun dari Rusia, yg kebetulan saat ini menjadi menjadi Ketua APEC menyusul KTT APEC di Vladivostok tahun lalu, telah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pangan yang pro pertanian. Dgn memberikan perlindungan terhadap petani mulai dari biaya jual, bibit, pakan, bahkan hingga kebijakan agro industry yg melindungi petani.

Apalagi diperkuat oleh berbagai fakta yg disampaikan beberapa pakar bahwa pangan lokal ternyata memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor karena kesesuaian biologis yang lebih tinggi dgn manusia dan mikrobiota lokal Indonesia.

Saatnya pemerintah mesti tegas dan konsisten dgn target pencapaian kedaulatan pangan. Jangan mau diatur-atur oleh para importir. Dlm fluktuasi harga pangan, telah beberapa kali pemerintah dipermainkan oleh kelompok tertentu lantaran Indonesia tdk mandiri dalam hal pangan. Pola yang sama digunakan para importir ketika terjadi kelangkaan kedelai beberapa waktu lalu.

Review KTT APEC 2014,Beijing China.

Jokowi Disebut Lupakan Petani saat Pidato di KTT APEC

Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai diplomasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam forum APEC 2014 yg berlangsung di China blm menyentuh kepada kepentingan rakyat kecil seperti petani, nelayan, serta buruh.

Hal ini lantaran Jokowi lebih memilih membawa agenda infrastruktur ketimbang membela kepentingan petani Indonesia.

Manager Riset dan Monitoring IGJ Rachmi Hertanti menyatakan seharusnya Presiden Jokowi menggunakan forum APEC untuk membawa kepentingan petani Indonesia yg selama ini dirugikan Perjanjian Pertanian WTO yg melarang memberikan subsidi oleh pemerintah.

Oleh lantaran itu, Jokowi hrs ikut memperjuangkan proposal subsidi pangan WTO bersama-sama India, ujarnya dlm keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (12/11/2014).

Disepakatinya agenda pasar bebas dan pembangunan konektifitas di Asia Pacifik dalam Forum APEC di Beijing akan semakin membuka jalur perdagangan Indonesia yg langsung terhubung dengan pasar global.

Namun hal ini akan memperlancar produk impor masuk ke Indonesia dan berdampak terhadap pelemahan daya saing petani Indonesia. Apalagi petani miskin semakin meningkat jumlahnya selama Sepuluh tahun terakhir ini sebanyak 24,5 juta orang.

Oleh sebab itu, proposal subsidi pangan dalam Paket Bali WTO dpt menjadi solusi bagi persoalan kemiskinan petani selama ini. Bahkan, dapat menjadi strategi yang tepat bagi pemerintahan Jokowi dalam meningkatkan daya saing petani Indonesia guna menghadapi pasar bebas di ASEAN serta Asia Pasifik.

Hal ini akan sejalan dengan visi Presiden Jokowi dlm mewujudkan kedaulatan pangan, katanya.

Proposal subsidi pangan dlm Paket Bali WTO berisi kepentingan negara berkembang yg tergabung dlm kelompok 33 (G33) yg mendesak perubahan Perjanjian Pertanian WTO agar negara dibolehkan memberi subsidi pertanian utk membantu petani miskin & meningkatkan kesejahteraan petani.

Namun, proposal ini diganjal oleh negara maju, khususnya AS, yg lebih mendorong Perjanjian Trade Facilitation untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur perdagangan di perbatasan.

No comments:

Post a Comment